Sebagai Driver oJoL kadang kalanya mengalami pesanan Orderan Fiktif. Allhamdulilah sampai saat ini aman terkendali. (tapi pernah mengalaminya, berdasarkan pengalaman pribadi dan bukti-bukti yang ada saya jabarkan kronologinya sebagai berikut;)
Terima Orderan GoSend tetapi kok chatnya minta ketemuan di PomBensin, baiklah biar gampang tidak cari rumahnya, ternyata .. berikut percakapan saya dengan castamernya ... (apakah menurut kalian fiktif?)
1. Menu BANTUAN yang ada pada aplikasi.
2. Email : driversupport@gojek.com
3. Telp : 021 50849022
Email ke :
driversupport@gojek.com
Saya driver Gojek Surabaya mengalami kendala ………….
Berikut data saya :
1. nama lengkap :
2. nomor handphone yang terdaftar di aplikasi :
3. kronologis kendala :
4. foto KTP :
5. foto SIM :
6. foto driver pegang KTP :
7. screenshot lainnya :
8. nomor order :
Balasan dari OJOL Pusat
Banyak Cara dilakukan seseorang untuk membuat Orderan Fiktif;
1. Melalui pesannan yang tidak sesuai dengan Aplikasi (Menambahkan pembelian Pulsa, Chips Games ataupun membayar transfer Elektronik/
2. Melakukan pembelian makanan atau barang (GoSend) dengan cara driver Ojol membayar makanan atau barang tersebut tanpa Nota, Alamat Resto atau alamat Toko tidak jelas (Castamer biasanya janjian dengan Driver Ojol ditempat lain untuk mengambil orderan tersebut, pihak resto atau pemilik barang ketemuan berdasarkan instruksi Castame), disitu driver Ojol membayarkan orderan Castamer dulu yang dibawa pihak Resto atau pemilik barang, yang nantinya akan dibayar setelah barang nyampai ke alamat castamer (itupun kalau kebayar kalau tidak jadi penipuan atau Order Fiktif).
3. Driver Ojol melakukan pembelian di toko atau swalayan (GoMart) sebesar 50rb dan castamer minta ditransfer uang sebesar 50rb dengan alasan uangnya cuman ada 120rb jadi setelah antar pesanan ke Castamer Driver Ojol tersebut akan mendapatkan 120rb.
Jerat Hukum Pelaku Order Fiktif
Menurut hemat kami, perbuatan pelaku yang membuat order fiktif dengan berpura-pura sebagai orang lain melanggar ketentuan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang melarang:
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
Bagi yang memenuhi unsur-unsur di atas, dipidana dengan pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp12 miliar.[1]
Contoh Kasus
Sebagai contoh, kita dapat merujuk pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 1597/PID.SUS/2019/PN JKT.UTR.
Dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan, diketahui bahwa (hal. 18 – 21):
Terdakwa yang sakit hati akibat perasaannya ditolak oleh S (perempuan), melampiaskan rasa sakit hatinya kepada teman-teman S, karena S telah pergi ke luar negeri.
Untuk dapat membalaskan hal tersebut, pertama-tama terdakwa meng-hack akun Instagram S, sehingga terdakwa dapat melihat/mengetahui siapa saja teman-teman S beserta informasi alamat rumah dan nomor teleponnya.
Berbekal data tersebut, terdakwa membuat akun konsumen Gojek atas nama teman-teman A dengan menggunakan nomor luar negeri.
Selanjutnya, terdakwa membuka aplikasi Gojek, kemudian memesan order fiktif secara acak (go food, go ride, dan go car) dan kemudian terdakwa menandakan alamat yang akan menerima orderan fiktif, dengan ketentuan bayar di tempat.
Dalam dakwaan, Penuntut Umum juga menjelaskan bahwa penerima orderan fiktif tersebut tidak dapat berbicara dengan terdakwa karena terdakwa tidak akan pernah mengangkat telepon dari driver Gojek untuk mengkonfirmasi order fiktif tersebut. Akan tetapi terdakwa membalasnya melalui percakapan serta memberikan alamat dan nomor telepon/HP penerima order fiktif dan menyuruh driver untuk menghubungi nomor yang telah terdakwa berikan (hal. 4 – 5).
Atas perbuatan tersebut, majelis hakim dalam putusannya menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan manipulasi informasi elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang autentik,” sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU ITE, dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan.
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, korban penerima order fiktif dapat melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian untuk diproses secara pidana. Simak prosedurnya dalam Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Putusan:
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 1597/PID.SUS/2019/PN JKT.UTR.
[1] Pasal 51 ayat (1) UU ITE
Sumber: https://www.hukumonline.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar